Rabu, 19 November 2008

Sejarah Kelahiran

Pasang surut keberadaan peran dan fungsi keterwakilan daerah di Indonesia merupakan sebuah kenyataan politik dan sejarah yang tak dapat dipungkiri. Hal tersebut tercermin dari serangkaian aturan konstitusional tentang keterwakilan daerah yang pernah diberlakukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 sebelum amandemen secara tegas menyatakan bahwa komposisi MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Keberadaan utusan daerah (regional representatives) dan utusan golongan (fungsional representatives) dalam komposisi lembaga MPR dalam sejarah parlemen Indonesia paling tidak merupakan sebuah cerminan bahwa keterwakilan daerah sesungguhnya adalah kebutuhan yang tidak bisa lagi dinafikan keberadaannya. Terlepas dari efektif atau tidaknya keberadaan representasi masyarakat lokal tersebut (baca: Utusan Daerah dan Utusan Golongan), yang pasti, eksistensinya mutlak diperlukan demi perjuangan kepentingan aspirasi daerah dan kelompok masyarakat tertentu di pentas politik nasional.

Sejarah terus bergerak. Salah satu momen sejarah politik keterwakilan daerah periode awal kemerdekaan adalah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang menjadi acuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) melaksanakan fungsi-fungsi legislatif. Komite tersebut menjalankan fungsi DPR-MPR dengan komposisi keanggotaannya berasal dari tokoh-tokoh nasional yang pada prinsipnya dapat dilihat sebagai representasi dari rakyat, daerah-daerah, dan golongan yang mewakili segala lapisan masyarakat.

Konfigurasi politik yang kemudian menggiring pada diberlakukannya Konstitusi RIS tahun 1949 juga berpengaruh besar terhadap keterwakilan daerah. Dari segi penyebutan saja keduanya sudah berbeda. Jika UUD 1945 sebelumnya memakai istilah utusan daerah-daerah, tidak demikian halnya dengan Konstitusi RIS yang menyebutnya dengan nama Senat Republik Indonesia Serikat. Begitu juga dari aspek kedudukan (posisi) di lembaga MPR. UUD 1945 menempatkan utusan daerah dalam posisi yang sejajar dengan DPR dengan menjadikannya sebagai bagian (anggota) dari MPR, sedangkan Konstitusi RIS memosisikan unsur keterwakilan daerah atau yang disebut Senat RIS sebagai bagian dari salah satu kamar di parlemen dan berkedudukan sejajar dengan DPR dengan tugas dan fungsi sendiri-sendiri.

Sebenarnya alasan utama kenapa kedudukan Senat sejajar dengan DPR adalah diterapkannya prinsip Republik Federasi yang menganut sistem parlementer. Uniknya, sistem parlementer tersebut memberi batasan bahwa parlemen tidak dapat menjatuhkan Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 122 Konstitusi RIS (Moh. Mahfud, 2001).

Sejarah terus berlanjut dengan diberlakukannya UUDS 1950. Periode demokrasi parlementer yang berlandaskan pada Konstitusi UUDS 1950 ini ditandai dengan kuatnya peran parlemen dalam pemerintahan sehingga periode tersebut sering kali dikatakan sejarawan sebagai masa kejayaan parlemen dalam sejarah politik Indonesia. Lembaga tersebut memainkan peran yang sangat signifikan dalam setiap proses politik. Perwujudan kekuasaan parlemen itu diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus jatuh. Namun, dalam hal keterwakilan daerah, fase UUDS 1950 keberadaan unsur perwakilan daerah tidak lagi mendapat tempat dengan dalih bertentangan dengan prinsip NKRI. Meski pun demikian ada satu kemajuan yang dicapai dalam pemerintah parlementer ini, yakni diselenggarakannya otonomi daerah secara luas dengan berpijak pada landasan asas desentralisasi dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Daerah memiliki kebebasan yang luas dalam mengatur rumah tangganya sendiri sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Pada periode ini pemilu pertama kalinya diselenggarakan. Pemilu dimaksudkan untuk memilih anggota Konstituante dan anggota DPR. Karena sifat UUDS 1950 yang sejak semula dimaksudkan untuk sementara, keberadaan anggota Konstituante yang dipilih berdasarkan pemilu ditugasi untuk menyusun konstitusi yang permanen sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 134 UUDS 1950 yang menyebutkan bahwa Konstituante (sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama pemerintah menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini (Moh. Mahfud, 2006).

Sejarah ketatanegaraan kemudian berlanjut dengan dikembalikannya UUD 1945 sebagai konstitusi menggantikan UUDS 1950 dengan sebuah Dekrit Presiden. Demokrasi Indonesia kemudian berwujud menjadi sebuah demokrasi terpimpin. Gagasan demokrasi terpimpin pertama kali dilontarkan Soekarno sekitar bulan Februari 1957 dalam suasana kehidupan politik yang tidak menentu. Lewat Catatan Pinggir, Goenawan Mohammad bahkan ikut memberikan komentarnya tentang gagasan demokrasi terpimpin Soekarno tersebut, dengan gayanya yang khas dan cenderung provokatif, Goenawan menulis:

“Dua puluh tujuh tahun yang lalu Bung Karno berseru, “Indonesia, carilah demokrasi sendiri!”.... Ajaib. Tapi demikianlah, di tahun 1958, Bung Karno menghadirkan sebuah demokrasi yang persegi bentuknya, dengan warna yang seperti batu rubi.... Benda berwarna rubi itu kemudian disebut demokrasi terpimpin. Dan sang pejabat pun menjelaskan, bahwa “demokrasi terpimpin” itu benar-benar demokrasi kita sendiri karena tumbuh dari suasana Indonesia yang khas, yakni “gotong royong” dan “kekeluargaan”.... Bung Karno itu melihat bahwa bangsa Indonesia itu satu keluarga besar. Orang agama, orang nasionalis, orang komunis, katanya, adalah alle leden van de familie, baik di meja kerja maupun di meja makan.... Ada yang berbisik bahwa Bung Karno salah membaca.... Yang ia lihat adalah dirinya sendiri. Sebab bagaimana mungkin masyarakat Indonesia tak mengenal konflik?” (Goenawan Mohammad, 1997).

Sejak kembali ke UUD 1945, pemerintah Orde Lama tidak pernah dapat melaksanakan pemilu. Konsekuensi logis dari bubarnya Konstituante dan DPR hasil Pemilu 1955 serta pemilu yang tak kunjung dilaksanakan, Soekarno membentuk DPRS/MPRS secara sepihak melalui mekanisme pengangkatan. Demikian pula halnya unsur keterwakilan daerah yang juga mengalami hal serupa, yakni ditunjuk melalui mekanisme pengangkatan.

Perjalanan ketatanegaraan RI kemudian berlanjut dengan berakhirnya Orde Lama yang digantikan oleh Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Pada masa-masa awal pemerintahannya, Orde Baru bisa dikatakan demokratis dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Pemilu diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat di parlemen. Unsur keterwakilan daerah diakomodasi dalam wadah utusan daerah di MPR, tetapi tidak banyak yang bisa dilakukan sebab keberadaannya lebih kepada pemenuhan kebutuhan demokrasi semu dan ambigu.

Seiring dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang kemudian melahirkan era reformasi lewat proses Amandemen UUD 1945, gagasan restrukturisasi peran dan fungsi keterwakilan daerah tidak dapat dibendung lagi. Alhasil, amandemen konstitusi (UUD 1945) kemudian menghasilkan butir penting tentang pengakuan unsur keterwakilan daerah dengan klausul yang menegaskan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD RI.

Kelahiran DPD RI dalam desain bangunan ketatanegaraan Indonesia sesungguhnya berangkat dari kebutuhan untuk menjembatani aspirasi lokal kedaerahan dengan kebijakan pembangunan nasional. Dengan begitu kepentingan dan aspirasi lokal dapat terintegrasi dan selaras dengan kebijakan pusat. Di samping itu kelahiran DPD RI juga dimaknai sebagai optimalisasi lembaga perwakilan Indonesia. Kebutuhan sistem parlemen dua kamar menjadi urgen sifatnya mengingat perlunya jaminan mekanisme check and balances dalam internal lembaga perwakilan itu sendiri. Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Rod Hogue dan Martin Harrop sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie (2005). Hogue dan Harrop mengatakan: The main justification for having two (or occasionally more) chambers within an assembly ar first, to present disticnt interest within society and secondly to provide checks and balances within the legislative branch (Pembenaran yang paling utama kenapa ada dua kamar dalam satu rumah (parlemen) adalah pertama, menegaskan perbedaan kepentingan dalam masyarakat dan kedua untuk memastikan adanya mekanisme check and balance dalam cabang kekuasaan legislatif).

Pada mulanya pembentukan DPD RI dimaksudkan memiliki kesejajaran dengan DPR. Hal itu sebagaimana diusulkan oleh Tim Ahli PAH I BP MPR sebelum ST MPR 2001. Prof. Dr. Maswadi Rauf, Prof. Dr. Soewoto Mulyosudarmo dan Prof. Ramlan Surbakti yang sama-sama mengusulkan agar DPR dan DPD RI sejajar (Valina Singka Subekti: 2008). Lebih lanjut Prof. Ramlan secara gamblang mengatakan:

“… pertama, karena DPD dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu yang setara dengan pemilihan DPR adalah wajar apabila DPD mempunyai fungsi sama dengan DPR. Pendapat saya berdasarkan penjaringan masukan masyarakat di daerah-daerah yang menginginkan adanya DPD yang kuat. Mereka mengatakan buat apa ada DPD apabila ia hanya embel-embel dari DPR. Kedua, pemerintah kolonial Belanda sampai pada kesimpulan bahwa bentuk pemerintahan yang tepat bagi Netherland Indische di masa depan adalah sistem federal. Ini ada dalam sejarah, tetapi memang kemudian federalisme itu digunakan sebagai alat politik pemerintah kolonial Belanda untuk memecah bangsa ini sehingga federalisme dianggap sebagai bagian dari melemahkan bangsa ini sampai sekarang. Dengan demikian sistem federal itu dianggap berbahaya. Semakin heterogen bangsa itu semakin relevan DPD, semakin tertampung kepentingan daerah. Ketiga, DPD perlu untuk mewakili kepentingan yang beragam ini apabila dengan berkembangnya otonomi daerah. Sebenarnya ini lebih relevan dengan pembedaan Jawa dan luar Jawa, setuju atau tidak setuju itu adalah realita dalam masyarakat kita sehingga DPD akan sangat membuat orang-orang luar Jawa lebih tenang hidupnya karena lebih senang” (Sekretariat Jenderal MPR RI, 2001).

Pemilihan Umum 5 April 2004 akhirnya melegitimasi wakil-wakil daerah yang terpilih menjadi anggota DPD RI untuk masa kerja 2004 hingga 2009. Pada lembaga baru inilah segala kepentingan dan aspirasi lokal dipercayakan untuk diperjuangkan. Jika kepentingan rakyat secara umum diwakili lewat DPR, DPD RI dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah (Jimly Asshiddiqie, 2005).

Berangkat dari kebutuhan strategis untuk memantapkan peran dan fungsi keparlemenan yang melekat pada DPD RI, dibentuklah alat-alat kelengkapan. Hal itu penting mengingat kebutuhan untuk menopang kerja dan kinerja legislasi DPD RI yang amat luas, baik dari aspek yuridis maupun politis. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Tatib DPD RI, alat kelengkapan tersebut meliputi: Pimpinan DPD, Panitia Ad Hoc (PAH), Badan Kehormatan (BK), Panitia Musyawarah (Panmus), Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU), Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT), Panitia Kerjasama Antar Lembaga Perwakilan (PKALP), dan Panitia Khusus (Pansus).

Dari beberapa alat kelengkapan DPD RI tersebut, PAH merupakan tulang punggung lembaga DPD RI dalam menjalankan tugas keparlemenan, sedangkan tugas alat kelengkapan lainnya secara garis besar adalah:

1. Pimpinan DPD RI yang merupakan kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif bertugas, antara lain, memimpin sidang-sidang, menyusun rencana kerja, dan mewakili DPD RI di Pengadilan;

2. BK yang bertugas antara lain menegakkan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik Anggota DPD RI;

3. Panmus yang bertugas menyusun agenda Persidangan DPD RI;

4. PPUU yang bertugas antara lain merencanakan dan menyusun program legislasi DPD RI serta membahas RUU yang tidak dibahas di dalam PAH;

5. PURT yang bertugas antara lain membantu Pimpinan DPD RI dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD RI;

6. PKALP yang bertugas membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPD RI dengan lembaga negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral;

7. Pansus adalah kepanitiaan yang dibentuk atas usulan dari PAH, Panmus, atau anggota DPD RI apabila dipandang perlu.

Khusus tentang PAH bila disandingkan dengan alat kelengkapan DPR, bisa dikatakan PAH tersebut sebagai komisi-komisi yang membidangi masalah tertentu. Digunakannya istilah Panitia Ad Hoc selain berlandaskan pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (3) Undang-Undang Susduk juga berlandaskan pada pemikiran agar tidak terjadi kekeliruan pemahaman antara alat kelengkapan yang dipraktikkan di DPR dan yang digunakan di DPD RI.

Penggunaan nama PAH sebagai alat kelengkapan DPD RI memang masih menimbulkan keambiguan dari sisi terminologi, terlebih jika dilihat dari bidang kerjanya yang permanen, sehingga ke depan masih tetap dibutuhkan pemikiran dan diskusi untuk mengkaji ulang penggunaan istilah PAH sebagai alat kelengkapan DPD RI yang tentunya pemilihan istilah tersebut juga harus dapat membedakan dengan istilah yang digunakan di DPR untuk menghilangkan kekeliruan pemahaman di masyarakat.

Dikutip dari Buku : PAH II DPD RI: Kilas Perjalanan, Jalan Panjang Menyuarakan Aspirasi Daerah

Tidak ada komentar: